Sejak kemerdekaan Indonesia tahun 1945 sampai
saat ini (2011) kita sudah mengalami enam kali pergantian kepala negara/kepala
pemerintahan. Setiap pergantian kepala negara memberi ciri tersendiri pada
eranya. Di era pemerintahan Presiden Soekarno Indonesia masih berkutat di
seputar menemukan bentuk ideal sebuah pemerintahan negara. Beberapa sistem
ketata negaraan sempat dianut pada era ini mulai dari bentuk negera republik
kemudian berubah menjadi negara serikat
yang akhirnya kembali kepada negara republik melalui Dekrit Presiden. Demikian
pula dengan sistem pemerintahan, dari sistem presidential berubah menjadi
sistem pemerintahan parlementer, kemudian kembali kepada sistem presidential.
Begitu pula dengan Pancasila sebagaia ideologi negara, oleh Presiden Soekarno
pernah digandengkan dengan ideologi lain yang disebut dengan NSAKOM (nasional
agama komunis). Jelaslah kiranya pada era pemerintahan Soekarno kebijakan
nasional masih berkutat pada masalah politik terutama untuk menemukan bentuk
negara dan bentuk pemerintahan yang dianggap sesuai. Dengan kata lain,
pendidikan belum menjadi prioritas kebijakan.
Pada tahun 1967 Soeharto resmi
menggantikan Prersiden Soekarno, sekaligus menandai Indonesia masuk pada era
baru yang disebut Era Orde Baru. Presiden Soeharto memangku kepemimpinana
nasional di tengah-tengah pemerintah sedang mengalami krisis kepercayaan dari
rakyat, karena kemiskinan, kelaparan dan kebodohan melanda di setiap lini
kehidupan masyarakat. Presiden Soeharto tampil dengan memfokuskan kebijakan
nasional pada bidang ekonomi dengan
menyusun program pembangunan yanag bertumpu pada trilogi pembangunan, yaitu
pertumbuhan, pemerataan dan stabilitas nasional. Pendekatan pembangunan
menggunakan pendekatan positivisme yanag berfokus pada pemenuhan kebutuhan
materiil seperti sandang, pagangan dan papan. Keberhasilan Soeharto dalam
membangun ekonomi menempatkan beliau dinobatkan oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat sebagai Bapak Pembangunan. Diakui pembangunan pendidikan menjadi salah
satu penopang pembangunan ekonomi, namun pendekatannya sanagat kuantitatif
karenaa terlalu memfokuskan pada pemerataan, sehingga cenderung mengabaikan
kualitas. Dengan demikian, pada era pemerintahan Soeharto pun pendidikan belum
menjadi prioritas kebijakan.
1
Selanjutnya pada tahun 1998 Soeharto
mengakhir masa pemerintahannya melalui tekanan dari publik yang sangat kuat
ditopang oleh kekuatan mahasiswa yang melahirkan sebuah era baru yang disebut
era reformasi. Soeharto digantikan oleh BJ Habibi yang sebelumnya adalah wakil
presiden. Habibi berada pada posisi yang tidak cukup menguntungkan, karena
rakyaat menginginkan reformasi total sedangkan Habibi nyata-nyata bagian dari
Orde Baru. Habibi tidak memiliki waktu yang cukup untuk memformat pembangunan
yang ideal, karena beliau hanya menjadi presiden kurang dari satu tahun, yang
kemudian digantikan oleh Abdurahman Wahid dengan panggilan akrab Gus Dur.
Presiden Abdurrahman Wahid memulai era pemerintahannya dengan melakukan
restrukturisasi kabinet yanag kemudian menjadikan pemerintahannya tidak berusia panjang,
lantaran gejolak politik, yang berujung pada pergantian kepemimpinan nasional,
mengantarkan Megawati menduduki kursi kepresidenan meneruskan sisa masa jabatan
Presiden Abdurrahman Wahid. Namun, di era Presiden Megawati pembangunan
pendidikan juga belum menjadi prioritas kebijakan nasional.
Era berikutnya tampil Sosilo Bambang
Yudoyono yang akrab dipanggil SBY menggantikan Presiden Megawati. Presiden SBY
menunjukkan komitmennya untuk memberikan perhatian yang cukup besar pada sektor
pendidikan dengan menetapkan anggaran pendidikan sebesar 20 % dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara. Sayangnya, anggaran 20 % itu pada level
pemerintah daerah tidak fokus karena diboncengi oleh sektor-sektor lain,
sehingga realitanya yang benar-benar dikelola oleh SKP Dinas Pendidikan tidak
sampai 20 %, belum lagi di dalamnya termasuk gaji guru.
Uraian di atas memperlihatkan bahwa
sampai saat ini pembangunan pendidikan kita masih berkutat di seputar aspek
formal, tapi belum pada aspek substansial. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan
dalam bidang pendidikan belum banyak menyentuh aspek filosofis dari pendidikan
itu sendiri. Sekolah sebagai centra pendidikan sesungguhnya tidak berfungsi
sebagai lembaga pendidikan, melainkan hanya sebatas lembaga pengajaran.
Kegiatannnya lebih didominasi oleh trnsfer
of knowledge, tapi bukan upaya mendidik. Untuk memperjelas pembahasan ini,
kiranya perlu pendalaman tiga istilah penting yang berhubungan erat dengan
pendidikan, yaitu pengajaran, pembelajaran dan pendidikan.
2
Apa yang dikemukakan di atas baru pada kegiatan pengajaran yang perlu diikuti
oleh kegiatan pembelajaran berupa upaya menciptakan suasana yang kondusif agar
terjadi peristiwa belajar secara mandiri pada diri peserta didik, sehingga
kegiatan belajar tidak semata-mata tergantung pada guru, karena guru hanya
merupakan salah satu sumber belajar.
Kemudian,
kegiatan mengajar dan pembelajaran tidak memberikan makna yang hakiki jika
tidak diintegrasikan dengan kegiatan pendidikan berupa internalisasi nilai yang
terkandung dari proses dan konten pembelajaran. Jadi, sekolah bukan hanya
mengejar out put berupa prestasi
belajar siswa yang dibuktikan oleh pengauasaan terhadap sejumlah materi belajar
yang diterimanya, tetapi lebih jauh bagaimana penguasaan materi itu dapat
menjadi referensi perilaku siswa. Jelaslah kiranya, hakikat pendidikan adalah
pembentukan karakter siswa melalui internalisasi nilai-nilai positif yang
terkandung di dalam proses dan konten pembelajaran. Dengan kata lain, dalam
rangka membangun karakter bangsa melalui pendidikan, salah satu upaya strategis
yang perlu dilakukan adalah mervitalisasi peran sekolah sebagai lembaga pendidikan
formal yang diwujudkan melalui mengintegrasikan kegiatan mengajar,
membelajarkan dan mendidik dalam arti yang sesungguhnya. Maka hasil peranan penting pendidikan dalam menciptakan good
governance yaitu :
1.
Mengupayakan perluasan dan
pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat
Indonesia menuju terciptanya nilai–nilai universal termasuk kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam rangka mendukung terpeliharanya kerukunan hidup
bermasyarakat dan membangun peradaban bangsa.
2.
Merumuskan nilai–nilai
kebudayaan Indonesia, sehingga mampu memberikan rujukan sistem nilai terhadap
totalitas perilaku kehidupan ekonomi, politik, hukum dan kegiatan kebudayaan
dalam rangka pengembangan kebudayaan nasional dan peningkatan kualitas
berbudaya masyarakat.
3.
Mengembangkan sikap kritis
terhadap nilai–nilai budaya dalam rangka memilah–milah nilai budaya yang
kondusif dan serasi untuk menghadapi tantangan pembangunan bangsa di masa
depan.
4.
Mengembangkan kebebasan
berkreasi dalam berkesenian untuk mencapai sasaran sebagai pemberi inspirasi
bagi kepekaan rasa terhadap totalitas kehidupan dengan tetap mengacu pada
etika, moral, estetika dan agama, serta memberikan perlindungan dan penghargaan
terhadap hak cipta dan royalti bagi pelaku seni dan budaya.
5.
Mengembangkan
dunia perfilman Indonesia secara sehat sebagai media massa kreatif yang memuat
keberagaman jenis kesenian untuk meningkatkan moralitas agama serta kecerdasan
bangsa, pembentukan opini publik yang positif dan peningkatan nilai tambah
secara ekonomi.
6.
Melestarikan
apresiasi nilai kesenian dan kebudayaan tradisional serta menggalakan dan
memberdayakan sentra–sentra kesenian untuk merangsang berkembangnya kesenian
nasional yang lebih kreatif dan inovatif sehingga menumbuhkan rasa kebanggaan
nasional.
7.
Menjadikan
kesenian dan kebudayaan tradisional Indonesia sebagai wahana bagi pengembangan
pariwisata nasional dan mempromosikannya ke luar negeri secara konsisten
sehingga dapat menjadikan wahana persahabatan antar bangsa.
8.
Mengembangkan
pariwisata melalui pendekatan sistem yang utuh dan terpadu bersifat
interdisipliner dan partisipatoris dengan menggunakan kriteria ekonomis,
teknis, ergonomis, sosial budaya, hemat energi, melestarikan alam dan tidak
merusak lingkungan.
Maka untuk memperkuat pembangunan karakter bangsa melalui
pendidikan, perlu dilakukan revitalisasi peran sekolah sebagai institusi
pendidikan. Melalui revitalisasi peran ini maka sekolah bukan hanya melaksanakan
kegiatan pengajaran dan pembelajaran, tapi yang terpenting melakukan
internalisasi nilai-nilai positif yang menjadi referensi perilaku peserta didik
di tengah masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut manajemen pendidikan
berperan memberikan landasan teoritik dan praktek dalam menciptakan good governance di sekolah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar